Minggu, 07 Oktober 2007

Siapa Aku?

email ahmad jaelani
jaelania@yahoo. com

the benalu
catatan ahmad jaelani

hari ini jogja panas banget. global warming! kelud meh njebluk! saat buka puasa masih lama. bosan di rumah, aku jalan-jalan ndak tentu tujuan. mau dolan ke rumah pak jokpin, pasti beliau masih di kantor. kugenjot sepeda onthelku melewati rumah pak ong, walah, pintunya tertutup. aku terus ke selatan, belok ke timur menyusuri jalan kecil pinggir kalen, melintasi markas teater garasi. sepi. biasane kalaupun ndak ada latihan kulihat ada pak cindhil atau pak gepeng duduk-duduk di pendopo atau di teras. oya, pendopo teater garasi baru lho. yang lama ambruk dihoyok gempa. yang baru lebih bagus. bikinan pak eko prawoto, arsitek kondang yang juga bikin galeri cemeti, istana pak butet, ndalem pak jaduk, studio tarine pak miroto, dan “bale rakyat”-nya pak ong.

karena ndak punya tujuan, akhire aku mampir ke warnet. buka email, wah ada tulisane pak indra bambang basuki lagi! dua kali baca tulisane pak indra, “saut dan orang utan” dan “saut dan togog”, terus terang aku terangsang, terinspirasi hehehe, lalu ikut-ikutan nulis catetan ini.

kukira benar apa yang dikatakan pak indra bahwa pak saut itu lagake sok jagoan. kelakuane merusak pergaulan seniman di jogja. aku sih hanya melihat sebagian tingkahnya, tapi mendapat banyak cerita dari teman-temanku yang lebih serius bergaul di kesenian. berikut ini adalah “rangkuman” dari cerita-cerita itu.

pada waktu pak saut dan pak raudal jadi ketua panitia FKY bagian sastra, banyak sekali ungkapan ndak setuju dinyatakan seniman jogja. alasan mereka tentu bukan karena pak saut dan pak raudal adalah kaum pendatang. setahuku, seniman jogja bahkan masyarakat jogja umume sangat terbuka terhadap pendatang, asal si pendatang itu empan papan, tahu cara menempatkan diri. selain nama-nama pendatang yang kemudian jadi “wong jogja” yang sudah didaftar pak indra, di dunia sastra masih bisa kita sebut pakar komunikasi dan penulis novel pak ashadi siregar, kritikus sastra pak faruk haji tripoli, dan aktor-penyair- penerjemah pak landung simatupang.

sebagai panitia FKY pak saut dan pak raudal diprotes karena mereka hanya ngundang sedikit sekali sastrawan jogja. mereka lebih banyak ngundang sastrawan dari luar jogja, yang sebagian adalah “gerombolan” pak saut seperti pak wowok yang diberi tempat istimewa sebagai pembicara dalam rangka menggempur kelompok orang utan, sebagian lagi adalah para sastrawan yang (diduga banyak orang) akan mereka gaet jadi anggota “gerombolan”-nya juga. alasane, untuk membesarkan jogja! walah, walah! itu cara berpikir yang kebalik pak. jogja itu sudah besar, sampun tenar, jauh sebelum pak saut dan pak raudal nunut di sini. bukankah mereka yang justru dibesarkan jogja, seperti kata pak indra? kukira jogja malah rugi dengan domplengnya pak saut di sini. wong karyanya ndak mutu dan kelakuane cuma memberi citra buruk pergaulan seniman di jogja kok. pak indra malah pernah usul agar pak saut di-persona-non- grata-kan segala!

para pemrotes kurang bisa menerima alasane pak saut karena festival itu adalah festival jogja. jenenge wae FKY (festival kesenian yogyakarta). tapi, menurutku, itu ndak bisa dijadikan alasan bahwa acarane kudu didominasi seniman jogja. setahun lalu saya liburan ke bali pas ada festival di ubud. namanya ubud writers and readers festival. tapi, kesanku, pesertane malah didominasi wong bule. sastrawan bali sendiri hanya sedikit yang diundang. jakjazz, pesertanya juga banyak dari luar negeri. javajazz, kalau pesertanya kudu wong jawa, ya ndak jalan pak. di jawa adanya ya mbah dul alias pak edi guntoro, pak jaduk, pak sapto raharjo, pak rahayu supanggah, pak yasudah, lan liya-liyane. mereka ndak ngejazz tapi kothekan dan klenengan dengan gamelan. belum lama ini ada jogja art festival yang dipandegani pak bambang pangron dan pak bimo wiwohatmo, tapi pesertanya banyak juga yang dari jepang dan korea. jiffest kalau kudu muter filme wong jakarta tok, ya elek! festival
krakatau, kalau pesertane cuma penghuni krakatau, ya mesti sepi nyenyet!

dari pengalaman itu mestine pak saut bisa mawas diri bahwa jadi panitia festival itu pacen ndak gampang. kita ndak mungkin memuaskan semua orang. yang membuatku heran, kenapa pak saut ribut menghujat festival yang diadakan kelompok orang utan? lebih heran lagi, dengan akal-akalan pak saut menggunakan ajang mulia itu untuk memfasilitasi pak wowok agar bisa ngantemi kelompok orang utan! cilakane, usaha pak saut dkk untuk mempengaruhi peserta lain gagal total. banyak sastrawan yang diundang dan ikut dalam diskusi itu ternyata masih berpikir waras. mereka malah nyerang balik pak saut, pak wowok, dkk.

nah, dalam sebuah diskusi, ada seorang seniman senior (kalau ndak salah asmane pak gentong, maaf jika salah pak) yang menanyakan kriteria pemilihan peserta. aduh, aduh! jawaban pak saut dan pak raudal kemlinthi tenan. mereka mengata-ngatai pak gentong. menurutku, juga menurut teman-temanku, cara mereka ndak sopan untuk ukuran wong jogja. banyak yang marah saat itu. terang saja, lha bagaimanapun pak gentong itu senior je, punya banyak murid, ndak patutlah diperlakukan seperti itu. maaf aku ndak bisa menceritakan detaile (malas dan malu!), kalau ndak percaya silakan cek saja ke pak gentong sendiri.

suatu hari pak saut pernah diundang mahasiswa universitas negeri yogyakarta (UNY) untuk ceramah tentang puisi. di depan para mahasiswa itu pak saut tanpa malu-malu menyatakan bahwa puisi yang bagus itu seperti karyanya. pak saut lalu membaca beberapa puisine dewe (membuat beberapa mahasiswi menutup muka saking malunya, karena puisinya jorok). lalu pak saut bertanya, “bagaimana, bagus kan?” sudah itu pak saut juga menjelek-jelekkan puisi yang ditulis kelompok orang utan dan para penyair yang disebut pak saut “konco-konconya”. katanya puisi kelompok orang utan itu berisi omong kosong, hanya permainan kata-kata untuk mengejar bunyi. puisi konco-konconya juga jelek, katanya. tapi, kata pak saut, karena kelompok orang utan menguasai media massa, maka puisi mereka dan konco-konconya lebih sering muncul.

siapa yang dimaksud pak saut dengan “konco-konco” kelompok orang utan itu? salah seorang mahasiswa bertanya tentang puisi pak joko pinurbo. pak saut menjawab, “nah, itu salah satu konconya! jokpin itu orang TUK.” para mahasiswa yang ngundang pak saut itu kan juga berteater di kampusnya. kengetahui itu, pak saut bilang, “tak bakal kalian diundang ke TUK seperti teater garasi. teater garasi itu juga konconya,” katanya. terus dia nambahi, “semua yang pernah tampil di TUK itu konco-konco TUK. taik kucing semua mereka itu!”

soal selebaran boemi poetra. waktu selebaran boemi poetra dibaca pak landung simatupang, pak landung berkomentar, “lha kayak gini kok disebut jurnal. mereka tahu nggak sih yang namanya jurnal? kalau karya mereka cuma kayak gini, cuma makian dan kebohongan, bagaimana akan mendapat dukungan dan pengakuan? kok mereka nggak malu ya, bikin karya kayak gini?” begitu.

soal bir beda lagi. setiap kali datang ke rumah pak agus suwage, pak saut langsung mbengok, “bir dong, bir! kita ini kan seniman-seniman hebat, masak nggak ngebir?!” kukira wajar kalau bu tita ngeluh soal watak benalu pak saut. soale keluhan serupa juga pernah dilontarkan oleh ibu wahida, bojone pak raudal. selain di rumah pak suwage, pak saut kan sering nebeng juga di rumah pak raudal. di sana kerjane cuma nglindur muji diri sendiri sambil njelek-jelekkan orang lain. nah, pas ada FKY itu banyak temannya pak raudal singgah di sana. pak saut juga. dialah yang paling getol ngobral kebencian terhadap orang lain sambil sekali-sekali minta ini-itu kepada tuan rumah. lagake kayak raja kecil! sampai-sampai bu wahida mengeluh, “aduh, tolong dong, tolong...” kasihan keluarga pak raudal setiap kali kadatangan pak saut. ketenangan mereka terusik. dan sikap benalunya itu benar-benar ngrepoti dan njelehi.

lagak seperti raja kecil itu kabarnya juga diterapkan pak saut kepada bu bandel, bojone dewe. meskipun bu bandel selama ini nanggung kebutuhan pak saut lahir-batin, bu bandel sering dibentak-bentak. bahkan untuk urusan mengambil kaos kaki saja, pak saut tega menghardik bu bandel agar diambilkan. sudah begitu bu bandel sering dikhianati pak saut. mungkin pak saut itu merasa dirinya lelanange jagat, merasa paling ganteng dan terkenal ya? soale, dia sering merayu cewek-cewek.

pernah beredar kabar (artine diketahui wong akeh), pak saut merayu seorang teman cewek (maaf, aku ndak tega menyebutkan nama cewek itu, demi nama baiknya). hebatnya pak saut, tindakan kurang ajar itu dilakukan pak saut di depan bu bandel. ketika itu mereka sedang naik mobil. pak saut duduk di depan di samping sopir, sedangkan cewek yang dirayunya duduk di jok tengah berdampingan dengan bu bandel. pak saut melancarkan rayuan gombale lewat sms. si cewek ndak menanggapi, tapi pak saut pantang menyerah, bah! sampai si cewek ngancam, kalau pak saut ndak menghentikan tindakan kurang bermoral itu, maka si cewek akan menunjukkan semua sms pak saut tadi kepada bu bandel. arep piye maneh, jal? ndak berkutiklah pak saut.

kabar teranyar, tokoh-tokoh FKY seperti pak agung leak kurniawan dan big-bos FKY pak bambang paningron sudah kapok encit melibatkan pak saut dan pak raudal yang dinilai memanipulasi FKY untuk kepentingan terselubung. ada juga info dari sastrawan senior bahwa ada 5 kelompok di jogja yang “menutup pintu” bagi pak saut. wah, gawat dong pak saut? sebagai benalu gak banyak pohon induk yang bisa diganduli lagi. mangkanya keterbukaan pak suwage kudu dipelihara oleh pak saut, kalau perlu pak wage disembah dan diabdi. pohon induk lain yang masih bisa diisep tentu bojone dewe, bu bandel itu. mungkin karena itu, dengar-dengar pak saut beli tanah dekat ring-road selatan, nganggo duwite bojone. para seniman muda jogja banyak yang tahu tempatnya. “nggak sulit nyari saut di mana kok,” kata seorang seniman. apa mangsudnya ya?

watak benalu pak saut itu semangkin menjadi-jadi karena pak saut itu pengangguran tapi boros. sebagai penulis sudah bukan rahasia umum kalau karya pak saut jelek, jadi jarang dimuat media massa, jadi jarang dapat honor. paling-paling karyanya dimuat di media indonesia dan republika. tapi dengar-dengar belakangan pak edi efandi (benar nggak sih namanya?) sudah kapok, karena tulisan pak saut banyak kami-maki dan cuma mendatangkan masalah. begitu pula di republika. setelah puisi pak saut menghina umat hindu, dengar-dengar pak ahmadun ndak mau muat karya pak saut lagi. Jadinya karya pak saut hanya bisa muncul di selebaran gelap boemi poetra yang oleh pak saut dibanggakan sebagai jurnal bergaya dada itu hi...hi...hi. .. dadanya siapa pak?

terang saja pak saut banyak memeras bojonya. kepada teman-temannya pak saut pernah pamer bahwa dalam sehari dia menghabiskan 50 ribu rupiah hanya untuk sms. belum lagi untuk bayar internet. bayangkan alangkah borosnya? duit ndak gablek, tapi mau hidup nggaya! sebenarnya sih pak saut punya modal. kalau dia mau bisa cari duit di terminal. tampangnya mendukung banget, hi...hi...hi. .. maaf ya pak? tapi mana mau? wong ke mana-mana pak saut itu menepuk dada sebagai penyair besar kok. yo wis, cuma jadi benalu deh kemungkinannya.

wah, sudah habis banyak nih. kudu mandek. wis, cukup dhisik. kalau duit habis, blaik! sedilit maneh bedug magrib. wancine ke warung lik min. pesen wedang jahe gula jawa, biar ndak terlalu panas, biar bisa disruput di sela-sela melahap nasi kemebul berlauk gorengan manuk puyuh, sayur brongkos, tempe mendoan dengan ceplusan lombok rawit. lupakan pak saut sing semrawut. hmmm, uenak ‘nan!


bugisan, oktober 2007

email indrabambang13@ yahoo.com

Dari Indra Bambang Basuki, Jogjakarta:

SAUT DAN SI ORANG UTAN

Dari dulu, lingkungan seni Jogjakarta penuh orang yang suka menepuk
dada sendiri. Yang merasa penting di lingkungan sendiri. Orang yang
suka ngomong gede. Dan merasa dirinya menarik di hadapan orang lain.
Yah, aku tahulah. Aku kan lahir di Jogja, dan nyemplung ke lingkungan
pergaulan kesenian Jogja sejak 1970an. Bergaul doang sih. Di kelompok
Umbu Landu Paranggi dulu, aku juga nulis sajak. Sempat masuk Sabana,
itu yang oleh Umbu digolongkan berkualitas nasional. Dan aku juga tahu
betul gimana para pelukis Jogja. Aku kenal dengan beberapa anak Seni
Rupa Baru yang kuliah di Gampingan.

Budaya gosip memang bagian dari kultur Jogja. Maksudku kultur
pergaulan seniman. Dan tampaknya ini pupuk yang bagus buat kreatifitas.
Paling nggak memupuk persaingan. Dari dulu banyak yang ngomongnya gede,
merasa dirinya burung merak. Kayaknya nggak ada yang lebih penting di
dunia ini ketimbang diri mereka. Ini soal gaya lho. Lihat saja itu
Rendra (Mas Willy), Motinggo Boesje, Umar Kayam, sampai anak-anak
Persada di bidang sastra. Di bidang seni lukis ada Sudjojono, Nyoman
Gunarsa, Gendut Riyanto, sampai anak-anak sekarang seperti Agung
Kurniawan. Semuanya hobi manas-manasin orang.

Tapi soal gaya pribadi ini tak gawat-gawat amat sih. Ini kan warisan
dari kultur agraris juga. Raja-meraja. Biar mereka suka menepuk dada
sendiri dan mengejek orang, yang penting buat aku gimana karya mereka.
Begitu aku melihat karya yang bagus, kulupakanlah segala yang jelek
tentang pribadi pembuatnya. (Terus terang saja, mereka yang gede kepala
dan gede mulut itu, sering cuma nebeng hidup pada teman-teman,
keluarga, bahkan istri sendiri. Mungkin dengan itu mereka bisa
konsentrasi berkarya? Yo wislah, karya mereka bagus, jadi kulupakan
kehidupan mereka yang miring itu.)

Nah, kurang lebih empat tahun yang lalu, laki-laki ini datang ke
Jogja. Dari gayanya, tampaknya dia oke. Bakal meneruskan kultur urakan
Jogja. Dia sedikit tambun. Rambut gondrong dikucir. Sangar tapi sayu.
Selalu bercelana pendek; alamak, terlalu pendek, panjangin dikit dong!
Tampaknya dia penerus tradisi omong besar di Jogja. Boleh juga gayanya.
Selalu terlihat minum bir. Malah di Biennale Jogja 2004 dia selalu
menenteng botol bir ke sana ke mari. Cailah. Tampaknya dia ingin
membawakan diri sebagai “poete maudit”. Kayak Baudelaire atau Chairil
Anwar. Hmmm. Boleh juga. Namanya Saut Situmorang. Penyair, yaitu orang
yang nulis puisi (semua yang nulis dan nerbitkan puisi boleh disebut
penyair kan, biarpun puisinya jelek?). Dia orang Batak tentu. Tapi
pindah dari Bali. (Baru belakangan aku tahu dia kenapa dia lari dari
Bali. Tapi ini kurang pantaslah kalau dikisahkan di sini.)

Sebenarnya aku nggak terlalu peduli dengan dia. Aku lebih
memperhatikan para pelukis (wuah, aku bosan dengan sastra, yang begitu-
begitu melulu!). Di kalangan pelukis atawa perupa ini banyak yang lebih
edan gayanya. Lihat saja itu Ugo Untoro, S. Teddy D, Bob Sick Yudhita,
Agung Kurniawan, dan Samuel Indratma dan (dulu) Eddie Hara. Juga Agus
Suwage yang pendiam itu, ternyata juga pemain gitar yang edan (eh, dia
bisa ngoleksi gitar yang mahal-mahal dan punya studio musik lagi).
Dibanding mereka ini, gaya si Saut mah kagak ada apa-apanya.

Tapi Saut ini ada juga lainnya. Tenaganya untuk berselancar di mailing
list (dan SMS) luar biasa. Dia bersemangat sekali menyerang lawan-
lawannya di bidang sastra, terutama Orang Utan Kayu. Seakan-akan nggak
ada yang lebih penting dipikirin di dunia ini ketimbang Orang Utan
Kayu. (Aku heran, kenapa si Orang Utan kagak menjawab? Mungkin mereka
cuma mesem-mesem saja. Sialan, ayo turun ke gelanggang dong. Biar rame.
Kalian perlu juga sekali-kali jadi petinju!)

Nah, karena tembakan si Saut (dan kamerad-kameradnya yang menamakan
diri gerombolan Boemi Poetera dan yang lain-lain juga) kagak berhenti,
aku mulai memperhatikan dia. Ribut amat sih? Apa kagak ada hal-hal
yang lebih penting? Kalau ada orang yang bersemangat “berjuang” begitu,
tentu aku mulai penasaran, barangkali ada yang menarik dari mereka?
Mungkin pikiran, mungkin karya, mungkin juga cita-cita perjuangan itu
sendiri. Mungkin kultur Jogja sedang memberi alternatif terbaru?

Setelah membaca berbagai pernyaatan si Saut dalam beberapa bulan
terakhir ini, aku mesti bilang, wah payah deh. Isinya kok maki-makian
melulu. Nggak berkelas polemik. Cuma menunjukkan ketidakmatangan
penulisnya. Heran aku, kenapa mereka kok menimpakan semua kesalahan
(yang menyangkut karir sastra mereka) pada Orang Utan Kayu?

Yang aku heran adalah apa yang mereka sebut “dominasi” atau “mafia”
Orang Utan Kayu. Nggak jelas buat aku, apa itu “dominasi”, apalagi
“mafia”. Menyerang Orang Utan Kayu tanpa argumen yang cukup itu sih
sama saja dengan mengganggap si Orang Utan penting. Dari dulu nggak
berubah “politik sastra” kita ini. Nyerang Jassin kek, majalah Sastra
kek, majalah Horison kek, yah tetap saja. Memperkuat otoritas pihak
musuh karena serangan yang sembarangan. (Wah, jangan-jangan mereka
nyerang karena nggak dimuat saja di koran-koran yang redakturnya
kebetulan anggota Orang Utan?)

(Yang buat aku aneh adalah koran kayak Media Indonesia [koran besar
lho!] ikut nampung maki-makian itu. Aneh juga, sebuah koran besar bisa
ikut “mengamini dominasi” Utan Kayu yang markasnya kecil dan nyelempit
di Jakarta Timur itu. Wah mereka sudah kehilangan “sense of
proportion”. Aku curiga jangan-jangan pak wartawan dan redaktur itu
juga pingin dapat pengakuan tuh. Wah, Orang Utan kok dianggap serius!
Piye toh?)

Kembali ke si Saut. Dia ini tampaknya memang “bapak spiritual” dari
gerombolan lawan Orang Utan Kayu. Dia memang kelihatan lebih pinter
dari gerombolan Boemi Poetera, yang modalnya cuma kemarahan plus
ngomong kosoooong doang (mereka bikin “jurnal”, tapi kagak ngerti tuh
apa bedanya “jurnal” dengan “selebaran”, jangan-jangan mereka kagak
ngerti tuh apa bedanya “buruh” dengan buruh). Si Saut ini memang
kayaknya membaca banyak, dan aku cukup kagum juga dengan “name
dropping” dalam berbagai “risalah”-nya. Biasalah, di negeri bekas
jajahan ini, yang ngaku intelektual nggak pede tuh kalau nggak nyantol
ke nama-nama impor.

Ada yang mendasar dalam tulisannya? Nggak ada. Ya cuma maki-makian itu
tadi. Dia mungkin mencari Bapak Literer yang mau mengakuinya Anak, tapi
juga dia mau membunuh si Bapak. Mungkin sastra Indonesia dianggapnya
Ibu yang bisa dia kawini. Tapi sastra ngindonesia ini ternyata bukan
Bapak dan Ibu. Aku sudah biasa dengan “nalar” kayak gini. Dulu anak-
anak Persada ingin membunuh Umbu, Pengadilan Puisi kepingin membunuh
Jassin dan Horison, dan Gerakan Desember Hitam mau membunuh Seni Lukis
Nasional Indonesia (via Dewan Kesenian Jakarta). Capek deh! Kagak
brenti juga gini hari!

Tuan Saut ini secara “luar bia(n)asa” menggabungkan istilah-istilah
teori sastra mutakhir dengan makin-makian. Yah, hasilnya cuma uneg-uneg
saja. Lebih banyak gosip. (Saya sih lebih suka pikiran yang langsung,
kagak pake “name dropping”). Bahkan dia lebih banyak salah-persepsi dan
salah-baca. Misalnya ketika dia mengatakan (kurang lebih, kepada
Budiman Manneke) bahwa “jurnal” Boemi Poetera bergaya Dada kayak di
Eropa awal abad 20. Wah, ini ngawur bah! Dia kira kita kagak ngarti tuh
sejarah seni modern.

Kalau dia betul-betul paham, maka yang bergaya Dada itu bukan Boemi
Poetera. Yang Dada(istik) itu Puisi Mbeling Remy di majalah Aktuil
1970an, dan mungkin Pengadilan Puisi Indonesia 1974. Meledek
“establishment” tapi juga kocak dan penuh ironi terhadap diri sendiri.
Itu baru gerakan dari orang yang bisa nulis. Kalau anak-anak Boemi
Poetera sih masih harus belajar nulis dan belajar berpolitik. Sori.
(Mas Wowok Hesti, kudengar anda anggota PDIP, tapi kok kiprah anda
mirip FPI sih! Belajar ke Taufik Kiemas dan Pramono Anung, dong!)

Tadinya sih kukira si Saut ini berbakat nulis esai. Kayaknya
provokatif. Ternyata dalam 2-3 bulan ini ketahuan sebenarnya dia cuma
ngobral snobisme saja. Cuma obrolan warung kopi yang berbentuk tertulis
saja. Gosip. Dan yang lebih “penting”, dia nggak pernah menghormati
lawannya. Buat dia, lawan “polemik” itu juga lawan yang harus dihabisi.
Lihat saja misalnya balasan dia ke Fadjroel Rachman dan Budiman
Manneke). Sama sekali nggak bergaya Dada(isme). Tapi gaya serdadu
Uganda! Kalau mau berpikir jangan kalap dong, Pak. Anda kan sudah lama
ninggalkan tangsi. Jauh-jauh sekolah ke Negeri Biri-biri lagi.

Nah, sekarang aku ke soal lingkungan pergaulan di Jogja. Si Saut ini,
kalau menyerang lawan-lawannya, dia menyerang pribadi. Tapi dia rabun
dekat. Sori aku terpaksa rada pribadi nih. Dia menyerang (memaki!)
“establishment”, tapi sori ya, dia itu juga ngenger pada establishment
yang lain, yang lebih kongkrit. Namanya (keluarga) Agus Suwage dan
(keluarga) Made Wianta (dulu di Bali). Aku sih sebenarnya nggak punya
masalah dengan ini. Cuma aku keberatan kalau “gaya sepenaknya” dia itu
disebut gaya Jogja. Jogja itu biarpun ngeledek, mengumpat, masih punya
martabatlah. Kagak numpang tapi ngaku mandiri.

Terhadap establishment seni rupa itu dia tunduk habis-habisan. Soalnya
dia hidup dari situ. Paling nggak numpang ngebir-lah. Berbotol-botol.
Hampir tiap malam. Atau dia jadi penerjemah katalog seni rupa. (Oh ya,
aku sempat membaca terjemahan dia di katalog Agus Suwage di Nadi
Gallery. Aduh, jelek banget terjemahannya. Sori.) Gajah di pelupuk mata
tak tampak. Yang tampak adalah kuman di seberang, namanya Orang Utan
Kayu. Ayo Bung, ganyang juga dong establishment seni rupa. Mereka
itulah yang sadar nyemplung ke kapitalisme internasional. Tapi kan Bung
nggak brani, karena dengan duit mereka Bung bisa mabuk bir tiap malam?

Tadi kubilang bahwa aku akan memaafkan kelakuan pribadi seniman kalau
karyanya bagus. Nah gimana karya Saut Situmorang ini? Kubaca-baca lagi.
Karya yang kayak beginian ini (misalnya “saut kecil bicara dengan
tuhan”) dulu banyak ditulis teman-temanku di Pelopor Yogya tahun
1970an. Misalnya Darwis Khudori, Mustofa W. Hasyim, Suripto Harsah, RS
Rudhatan, Bambang Darto, juga Umbu sendiri.) Tapi karya teman-temanku
itu (ingat 1970an) jauh lebih baik. Saut itu penyair romantik (kayak
teman-temanku) , tapi kok telat banget ya. (Dia kan ngerti posmo,
mestinya pake “pastiche” dong, paling nggak berjaraklah dari yang
romantik.) Dia orang Sumatra, tapi kok bahasanya lebih miskin ketimbang
para penyair Jawa. (Wah ini, bukan rasisme lho, aku cuma ingat Sitor,
yang betul-betul tahu bagaimana mewarisi Batak dan Melayu.)

Jadi ujung-ujungnya, Saut itu bukan tokoh sastra. Nulis “karya” sastra
dan “pikiran” sastra, tapi baru setaraf ngomong doang. Padahal umurnya
sih sudah kepala empat. Sebagai orang Jogja, aku tersinggung berat. Apa
dia harus di-persona-non- grata-kan? Nggak usah deh. Biar aja dia aman
di lindungan rumah Agus Suwage. Jogja itu pemurah kok. Selalu begitu.
Kita lindungi dia sampai dia mampu membuktikan mutunya sendiri. Atau ya
memang dia cuma segitu. Tapi jangan menggali kuburan sendiri dong.

(Suryodiningratan, akhir September 07)

------------ --------- --------- ---
Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today!

SAUT DAN TOGOG

Dari Indra Bambang Basuki (Jogjakarta) :

Tadi pagi aku ke Pasar Burung Ngasem. Bukan beli burung, tapi cuma
nikmatin keramaian dan baunya saja. Lalu aku ke Alun-alun Kidul, lalu
nglewatin Langenarjan, Sawojajar dan balik ke Alun-alun Kidul lagi.
Duduk-duduk di dekat tukang loak. Yah, belum banyak yang berubah di
Jogja ini. Dari dulu begitu-begitu saja. Nglangut. Itu sebabnya aku
betah tinggal di sini. (Dulu, untuk dapat ilham nulis sajak, aku & poro
konco juga lakukan ritual jalan-jalan kayak gitu. Penyair Persada Studi
Klub itu romantik, romantik Jowo!) Memandang dua wringin kembar itu,
ingsun kok melamun-lamun, kenapa kiranya Jogja ini bisa menarik banyak
bakal-seniman.

Ternyata, meski Jogja begitu-begitu saja, banyak juga yang baru. Zaman
Umbu Landu dan anak-anak Seni Rupa Baru sudah 30an tahun lewat.
Pertengahan 80an muncul angkatan Nindityo, Anusapati, Heri Dono di seni
rupa, sekarang muncul anak-anak baru yang lebih edan lagi. Di sastra,
ada Joko Pinurbo yang kini semangkin mantap. Kini ada pula Raudal Banua
Tanjung (pindah dari Bali, anak rantau dari Sumatra Barat). Sementara
Anak-anak Teater Garasi itu nambah kultur lain lagi, kultur “gaul”
namanya. Tenan, aku semangkin merasa tuwo. Yo memang sudah cukup puas
aku mengasuh dua cucu. Dan sekali-kali menyambangi teman-teman lamaku.
(Wah, teman-temanku yang asli sudah banyak yang wafat. Linus, Warno
Pragolapati, Gendut Riyanto, Lukman Sutrisno, Pak Rusli…)

Aku nggak berpisah dengan dunia kesenian sama sekali. Masih bergaul
sih. Meski nggak termasuk lingkaran jero di mana pun. Paling nggak aku
kenal-asu dengan mereka. Aku nggak merasa janggal duduk-duduk di Kedai
Kebun misalnya. Bahkan kadang-kadang aku nonton juga latihan badminton
di teater Kedai Kebun di lantai dua, di mana Saut Situmorang dan
beberapa anak Teater Garasi suka nangkis shuttlecock dengan super-
nekad. Bosen ah, wong mereka mainnya wueleeeek tenan, kayak kadal di
atas geni. Mending aku makan tahu goreng racikan Mbak Neni yang memang
istimewa itu di lantai bawah.

Jadi kalau sekarang aku ngikut ke “perang” kampungan si Saut itu,
wajar saja sih. Aku kepingin ngetes “sejarah pergaulan Jogja” dalam
30an tahun inilah. Kayak apa sih persentuhan pribadi bisa mempengaruhi
kreatifitas? Dan apa sih “sumbangan” Saut itu untuk dunia kesenian
Jogja? Apa ngamuk dia itu berhubungan dengan kultur Jogja? Di kotaku
memang banyak seniman pendatang, sebagian temperamental, teler-teleran.
Ndak apa-apa kok. Dengan begitu mereka nyumbang sesuatu ke kotaku. Tapi
kubilang, Jogjalah yang membesarkan mereka.

Nggak semuanya sih pendatang (aku, Butet, dan Pak Bagong asli Jogja
kan?). Mas Willy itu, biar lahir di Solo, masa remaja sampai kawinnya
di Jogja. Memang ada dua jenis pendatang. Jenis pertama adalah yang ke
Jogja untuk kuliah. Masa mahasiswa, masa membentuk diri. Umar Kayam,
Darmanto Jatman, Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, Umbu
Landu Paranggi, Emha Ainun Nadjib, Joko Pinurbo semuanya pendatang.
Nindityo, Eddie Hara, Harsono, Hendro Wiyanto sampai Rudi Mantofani dan
Ugo Untoro itu juga datang untuk belajar seni rupa. Nah, Jogja itu
memang lingkungan pergaulan. Yang membuat mereka jadi seniman bukan
sekolah, tapi lingkungan pergaulan.

Ada juga yang datang ke Jogja ketika mereka sudah “jadi”. Sudjojono,
Hendra Gunawan dan Affandi sudah jadi ketika tiba di masa Revolusi.
Lalu jauh setelahnya, ada Agus Suwage. Atau anak seperti Raudal Banua
Tanjung. Tapi Jogja lebih menjadikan mereka. Bahkan Jogja jadi kandang
mereka. Saut itu sih memang belum jadi ketika datang ke Jogja (seperti
sudah kubilang, dia lari dari Bali). Kalau dia marah-marah sekarang,
kayaknya itu letupan dari bawah sadarnya “kok gua belum jadi-jadi juga
toh.” Sementara di sekitarnya teman-temannya wis podo dadi.

Yah, lingkungan pergaulan Jogja itu memang selalu berbau pribadi.
Keterlaluan malah. Dulu kami berebut perhatian Umbu Landu Paranggi.
(Sekarang ingsun ketawa, apa sih daya tarik lelaki pendiam itu?) Lalu,
Emha dan Linus juga bersaing untuk dapat pujian Umar Kayam (mereka
sering ngumpul di rumah UK di Bulaksumur). Kemudian, Teater Dinasti itu
pecah karena Emha nggak bisa tepo saliro terhadap kemandirian Jadug &
Butet. Dan sekarang ini para pelukis-perupa rebutan siapa yang
dikoleksi Oei Hong Djien. Wah. Edan tenan.

Anak-anak Seni Rupa Baru dulu juga penuh ketegangan slalu. Hardi &
Gendut Riyanto itu bawaannya berantem melulu. Lalu, lihat juga waktu
Hendro Wiyanto (sekarang tinggal di Jakarta) jadi kurator Biennale
Jogja 2004, dia dimusuhin anak-anak Jogja, dan membuat kubu-kubuan di
antara perupa. Lalu, kurang apa tuh Mella Jaarsma dan Nindityo (dan
Cemeti tentu) diledekin oleh anak-anak Taring Padi dan Wimo Ambala dkk.
Aku juga heran gimana Yuswantoro Adi suka ngeledek dan diledek soal
payu atau nggak payu. Rame deh! Norak lagi!

Tapi semua soal pribadi itu brenti begitu mereka berkarya. Paling
nggak, bisalah mereka narik persaingan pribadi ke persaingan
kreatifitas. Bisa ndeso & norak banget pribadi mereka, tapi matang
berkarya. Tapi lain halnya Saut Situmorang. Dia nggak bisa memisahkan
antara pemikiran & kritik sastra dengan masalah pribadi. (Masih ingat
jawaban dia ke Fadjroel Rachman & Budiman Manneke? Juga “manifesto” dia
tentang puisinya di Republika? Bergaya serdadu Uganda! So much for any
literary propaganda! Sori, aku niruin dia doang. Aku nggak pernah
sekolah ke New Zealand.)

Tapi kan dia memang mampunya melihat kuman di seberang lautan,
sementara dia pura-pura nggak tahu gajah di pelupuk matanya. Ini soal
konsistensi lho. Maksudku, termasuk dalam hal “perjuangan” dia dengan
kelompok Boemi Poetera (kusingkat BP saja, capek deh, namanya gagah-
gagahan doang). Contohnya saja, kalau BP mempersoalkan kehidupan
pribadi si Orang Utan maka mestinya kehidupan pribadi Tuan Saut duluan
yang harus dipersoalkan (ini ada hubungannya kenapa dia lari dari Bali
dengan Puan Katrin Bandel, maaf ya; tanya deh detilnya ke Made Wianta.)
Lalu di Jogja itu tak kurang pula “kebebasan liar” di antara teman-
temannya sendiri yang layak dia beritakan kepada Mas Wowok Hesti. Tapi
karena dia, ya itu tadi, cuma mau menembak si Oran Utan, dia harus
nyembunyikan fakta diri dan lingkungannya sendiri.

Hubungan dia dengan keluarga Agus Suwage juga tampaknya lancar-lancar.
Sebenarnya nggak sih. Titarubi pernah ngeluh: ketika suaminya, Suwage,
kena “perkara” Pinkswink Park di CP Biennale 2006, dan mereka harus
bolak-balik ke Jakarta untuk mengorganisir gerakan, si Saut ini suka
ndompleng keuangan gerakan, menggunakan untuk dirinya sendiri jalan-
jalan ke Jakarta. Tita betul-betul sambat! Nggak sabar seperti
biasanya. Tanya deh ke Tita gimana detilnya! Gimanapun aku respek pada
kesabaran pasangan Suwage-Titarubi “mengayomi” si Saut.

Lalu lihat juga inkonsistensi dia yang lain. Kalau BP & Ode Kampung
tegas menolak “penjajahan dan bantuan asing untuk kesenian”, mestinya
dia cerita ke Wowok cs bahwa yang gini-ginian banyak banget di Jogja.
Rumahseni Cemeti yang dia lewati tiap hari itu apa? Dan juga dia
tongkrongi, kadang-kadang jadi moderator pula di situ? Masak dia juga
nggak tahu bahwa Indonesian Visual Arts Archive (yang direktrisnya,
Farah Wardani, pernah dia taksir abis itu) dan lembaga populis kayak
Kunci Cultural Studies itu apa? Semuanya menerima, malah bergantung,
pada dana asing. Lha mboten kuwi kemawon, Mas. Mereka itu aktif,
aktiiiiif, sekali mendatangi lembaga asing. Dan dunia seni rupa itu
apa? Para pelukis, termasuk Agus Suwage yang dia domplengi itu, semua
hidup dari pasar seni rupa, artinya kaum pedagang, art dealers,
kapitalisme internasional. Juga Made Wianta, “bos” dia di Bali dulu;
wah, bukan main lincah Bli Made ini menjelajahi pasar internasional.
Dan dengan begitu anda bisa numpang ngebir berbotol-botol tiap malam,
bung Saut! Anda aman toh di pangkuan mereka?

Terus terang, aku ini bukan nasionalis-ultra kayak BP, tapi mau nguji
konsistensi si Saut. (Oh, aku cinta pada lembaga-lembaga dan teman-
temanku yang barusan kusebut itu, mereka realistis kok.) Kalau benar
dia konsisten dengan Manifesto Ode Kampung, maka dia juga harus nembak
lembaga-lembaga dan pribadi-pribadi yang dia gelandotin dan dia
sungkanin di Jogja. Atawa dia bikinlah supaya Manifesto itu nggak
dangkal-dangkal amat. Tapi karena dia menganut oportunisme total, ya
dia nggak mampu konsisten. (Sori ya, aku berbicara ces-pleng begini ini
kan karena Tuan Saut sudah mulai lebih dulu, lebih kasaran dari
ingsun.) Piye to, Bung. Heroisme anda kok dangkal sekali? Bahkan Pak
Halim Hade yang sekarang membentengi anda itu juga pinter lho cari dana
bantuan asing.

Nah, sebentar sudah kubilang di surat kemaren, aku akan lupakan soal
pribadi ini kalau karya orang itu layak. Karya tulislah, entah esai
atau sajak. Untuk per-esai-an, Saut ini kayaknya sudah nggak punya
harapan lagi. Dia nggak punya daya jelajah & daya ngragukan diri yang
harus dimiliki seorang penulis esai. Esainya cuma ceplas-ceplos,
makian, umpatan. Semua yang dia tulis itu “fixed ideas” belaka, yang
dibungkus dengan jargon dangkal. Misalnya dia ngikut saja pendapat
bahwa Orang Utan Kayu itu penyebar jaring dominasi. Sama sekali nggak
ada usaha menguliti pemikiran mereka. (Yah, cuma menyebarkan “dusta” si
Orang Utan. Mosok yang dasar aja dia nggak paham; “dusta” itu
menyangkut fakta keras, bukan opini. Kalau ingsun mengatakan Puan
Bandel itu orang Batak, nah barulah hamba berdusta.) Kupikir tadinya
dia nakal berpikir kayak Emha di tahun 80an, ternyata jauh banget.
Wuah, Emha lebih cerdas ke mana-mana.

Lalu gimana puisinya? Sudah kubilang kemaren, dia penyair romantik
yang terlambat. Lebih jelek dari teman-temanku dari Persada di tahun
1970an. Miskin sekali ungkapan dia. (Oh inggih, sajak-sajaknya mestinya
juga termasuk “sajak sepi borjuis” kalau kaum BP yang nasionalis-kiri
mampu melihatnya; nggak cocok dengan ideologi Ode Kampung.) Berusaha
mengharu-harukan doang. Tapi mungkin puisi Saut terlihat mendingan kalo
dibanding dengan punya para penyair-cewek Bandung yang rajin dia kirimi
SMS. Saut terang, tapi miskin. Kalau dibanding dengan Pinurbo? Wah,
Pinurbo mah jauh lebih bagus ke mana-mana. Saut cuma pura-pura nakal
(sakbenernya puisinya sendu sayu, sering pake “Mu” lagi), Pinurbo sudah
nakal betulan. Gimana dengan Raudal Banua Tanjung yang berusaha
disekutuinya dalam “perjuangan melawan pusat”, misalnya dalam Temu
Penyair di FKY Agustus kemaren? Wah, biar Raudal termasuk penyair
romantik jua, dia jauh lebih kaya daripada Saut. Lebih tahu gimana
melakukan variasi. Vokabuler-nya lebih hidup.

Yah begitulah. Usahanya buat jadi “bapak spiritual” di temu penyair
FKY Agustus lalu kandas total. Aku datang ke diskusi itu. Melihat
gimana si Saut jadi moderator yang menamengi Wowok Hesti. Eh ternyata,
Wowok yang berapi-api di panggung itu, setelah gilirannya kelar,
apalagi setelah diskusi, jadi lungkrah di pojokan, kehilangan kawanan,
kayak kambing congek kecemplung kali. Apa duo Saut-Wowok itu mengira
para penyair itu pada bego? Lalu aku lihat gimana si Saut ini jadi
moderator yang kikuk buat Afrizal Malna & Acep Zamzam Noor. Afrizal
bilang bahwa dia nggak percaya politik sastra, komunitas-komunitas an.
Acep bilang bahwa si Saut dkk ini harus belajar menggosok kata-kata
dari dia; kata Acep pula, penyair kok nggak punya kepribadian puitik.
Wah. Piye toh. Kasihan Raudal, yang jadi sekondan Saut di kepanitiaan
temu penyair itu. Polos banget dia. Udah deh. Bung Raudal nulis puisi &
belajar bahasa Inggris aja deh. Nggak usah maen politik sastra.

(For your information: ketika aku nulis karangan ini, tibalah ke
tanganku “jurnal” Boemi Poetera jilid 3. Tak diberitakan sama sekali
forum penyair Jogja itu, apalagi kegagalan Saut-Wowok di situ. Artinya:
Wowok Hesti pembohong. Tak ada sama sekali omongan apalagi pembelaan
terhadap heboh puisi Saut di Republika. Artinya: Wowok penakut. Dimuat
pula karangan Saut yang udah beredar di berbagai milis dan blog.
Artinya: Wowok pemalas, cuma pemungut barang bekas, kagak bisa nulis
maupun ngumpulin tulisan baru. Kalo ngaku nerbitkan “jurnal”
perjuangan, ternyata modalnya cuman kebohongan & ketakutan & kemalasan,
mending Wowok ngelola rumah makan aja deh! Dia ngaku muslim kok
nyebarkan benci di bulan puasa!)

Yah, gimana lagi. Aku sih masih percaya gerakan perlawanan itu perlu.
Perlu banget! Tapi penggeraknya harus mandiri sebagai pribadi-pribadi.
Bisa bikin media dan forum sendiri yang terhormat. Tengok itu Gerakan
Puisi Mbeling di majalah aktuil awal 1970an. Bisa melahirkan puisi
“sembarangan” yang layak diingat. Bisa kasih pengaruh ke Pinurbo sampai
hari ini. Don’t forget Sastra Kontekstual (“duo” Arief-Ariel) di Solo
1984, yang bisa melahirkan kritik terhadap sastra nguniversil. And keep
in mind Umbu (di Jogja maupun di Bali) yang nggak pernah peduli dengan
Jakarta. Dia bikin pusatnya sendiri, dia lahirkan para penyair dengan
caranya sendiri. Saut dan Boemi Poetera? Cuma gerombolan bermodal
cangkem. Mana karya mereka? Mana pemikiran mereka? Dalam kasus Puisi
Mbeling & Sastra Kontekstual, perlawanan sudah jadi karya dan
pemikiran. Dalam soal Saut dan Boemi Poetera, yang mbrojol cuma
“jurnal” yang layak jadi ganjel lemari. Kalau mereka benar-benar eksis
sebagai pribadi, mereka akan anggap sepele saja tuh si Orang Utan. Dan
nama Boemi Poetera itu menghina abis para bapak bangsa yang dulu cerdas
melawan kolonialisme. Yah, mereka cuma bisa jumpalitan karena kuman di
seberang lautan yang namanya si Orang Utan. (Don't worry deh, aku akan
ngritik si Orang Utan pada suratku berikutnya.)

(Footnote: Saut ini kan puisi dan “esai”-nya sudah dimuat Media
Indonesia & Republika & diundang DKJ baca sajak, tapi dia ini tetap
saja nggak pede sebagai sastrawan. Makanya, aneh, dia itu terus mencari
Bapak Literer yang mau mengakuinya dan selalu hendak dibunuhnya.
Sekarang dia cari teman, gerombolan, yang dia bisa kangkangi. Raudal
kek, Wowok kek, kaum penyair-cewek Bandung kek. Wah, banyak juga duit
dia buat melancarkan perang & kampanye SMS. Untung dia punya Bu Bandel.
Yah, bergantung sama “bantuan asing” lagi!)

Dan akhirnya tentang gaya serampangan yang kayaknya dia tiru dari
Chairil Anwar. Entah gimana dia punya analogi super-ngawur gitu. Kita
tahu sih, Chairil itu jauh lebih edan dari Saut Situmorang. Chairil itu
super-edan deh. Tapi ingat lho. Chairil itu mati umur 27. Dan dia nggak
pernah membawa-bawa permusuhan pribadi ke dalam tulisan. Saut ini mau
bergaya kayak Chairil padahal umurnya sudah kepala empat. Dan menenteng-
nenteng pula soal pribadi ke dalam “esai”-nya. Sesama orang Medan: yang
satu sudah super-dewasa dan bermutu ketika umur 20an; yang lain, masih
infantil & medioker meski sudah lewat 40. Alamak.

Jadi apa gunanya dia tinggal di Jogja? Sebagai orang Jogja, aku
tersinggung berat. Baru kali ini lingkungan seniman di kotaku mengalami
kelainan. Baru kali ini pergaulan merusak iklim kreatifitas. Baru kali
ini Jogja nyumbang sampah ke seni & sastra ngindonesia! Mak
jeledherrrrr. Tiba-tiba aku ingat, ada juga tokoh lucu dalam pewayangan
tapi rodo nyebelin. Togog namanya. Kayaknya si Saut ini mirip Togog.
Togog itu ikut Kurowo. Sopo yo sing Kurowo: Boemi Poetera atau Orang
Utan? Sungguh nggak penting itu, bah! Yang penting Togog eksis, meski
dia jarang dimunculkan ki dalang. Ayo dong Togog, bikin kita ketawa.
Kan kamu badut, kok kamu mau jadi bapak spiritual sih. Nanti mulutmu
semangkin sobek lho. Pantesan ngamuk-ngamuk kamu nggak lucu. Hayo
ketawa, ketawa, ketawa. Brenti nyastra pun kita rela, asal kamu bikin
kita semua bisa ketawa huahahahaha.

(Suryodiningratan, akhir September 07)